Jika ada pertanyaan, “Apa harapan Anda terhadap anak-anak?” Tentu jawaban akan beragam sekali, mulai dari ingin memiliki anak yang penurut, pintar, tidak nakal, membanggakan orang tua, dsb. Wajar ketika memiliki anak, setiap pasangan mempunyai pengharapan seperti jawaban diatas. Namun, pertanyaan selanjutnya, “Bagaimana cara mencetak anak memiliki karakter seperti dambaan orang tua?” Sama halnya dengan jawaban sebelumnya, cara yang diterapkan setiap orang tua tentu bervariasi. Jangankan antar orang tua, tidak jarang masing-masing pasangan memiliki prinsip berlainan ketika mengasuh anak. Misalnya saja, ayah menerapkan pola asuh yang cenderung disiplin, sebaliknya ibu lebih longgar dalam menerapkan aturan, dan yang terjadi kemudian, orang tua bertengkar, saling menyalahkan serta menganggap sikapnya lah yang paling tepat. Lalu, adakah akibatnya bagi anak ? Tentu saja, salah satunya adalah anak bingung karena adanya dualisme pola asuh yang pada akhirnya membuat mereka memilih mana yang dinilai lebih menyenangkan, enak, ataupun menguntungkan dirinya. Untuk apa disiplin, toh lebih enak santai. Untuk apa teratur, jika ada yang memberikan keleluasaan bersikap semaunya, dan sebagainya.
Anak adalah mereka (laki-laki atau perempuan) yang belum dewasa atau belum mengalami pubertas, dan sedang menjalani suatu proses perkembangan sangat pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Ia memiliki karakteristik yang tidak sama dengan orang dewasa, misalnya saja bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu yang besar, penuh fantasi, daya konsentrasi yang cenderung pendek, peniru ulung, dan mereka adalah sosok pembelajar paling potensial.
Dengan mengenali beberapa karakter khas tersebut, diharapkan orang tua dapat lebih memahamidunia anak-anak mereka sehingga nantinya dapat menerapkan pola asuh yang memadai.
Lalu, pola asuh seperti apa yang dapat diterapkan secara tepat pada anak ?Pola asuh sebagai sebuah proses bagaimana orang tua memperlakukan dan cara berinteraksi dengan anak didalamnya meliputi aktivitas yang bersifat mendidik& membimbing, memberikan perhatian, mengantarkan anak pada kedewasaan, serta penerapan aturan dalam keluarga. Pola asuh akan membentuk dasar kepribadian seseorang, mulai dari konsep diri, kemampuan menyelesaikan masalah, dan juga pembentukan ketrampilan atau kecakapan hidup (life skills).Pada intinya, pola asuh akan turut menentukan apakah anak kelak menjadi sosok yang tangguh (punya daya juang) atau justru rentan terhadap sumber stress.
Tipe-tipe pola asuh :
- Pola asuh permisif, dicirikan dengan apa pun yang ingin dilakukananak akan diperbolehkan, dan orangtua cenderung sibuk dengan pekerjaan atau kepentingan yang lain. Misalnya saja anak dibebaskan mengendarai motor seorang diri padahal usia belum mencukupi dengan alasan anak memaksa atau ingin seperti anak yang lain.
- Pola asuh otoriter, yaitu pola pengasuhan anak yang bersifat memaksa, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang “saklek” dan harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Contohnya, anak diharuskan masuk kuliah jurusan tertentu, sementara ia memiliki harapan yang lain.
- Pola asuh otoritatif, merupakan pola asuh yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan memberikan batasan dan pengawasan yang proporsional dari orangtua. Anak diberikan kesempatan memutuskan akan mengerjakan PR atau tidur terlebih dahulu dengan mempertimbangan segala konsekuensinya.
Tugas orang tua adalah mempersiapkan anak menghadapi jamannya (Anonim). Ya, mengasuh anak idealnya perlu melihat banyak aspek. Beberapa yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Usia anak.
Pola asuh harus dinamis sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Memperlakukan anak disaat usia mereka telah cukup dewasa dengan sikap seperti pada anak kecil tentu akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi mereka, karena itu perlakukan sesuai dengan usia perkembangannya.
????????????????????? b. Pahami kebutuhan dan kemampuan anak.
Setiap anak terlahir unik, berbeda satu dengan lainnya meski itu saudara kandung sekalipun. Karena itu, terima apa yang melekat dalam diri mereka, fasilitasi kemampuan dan minatnya, serta kuatkan perasaannya jika ada keterbatasan yang mungkin dimiliki. Jangan membandingkan anak dengan saudara kandung atau anak lain (yang kita anggap sebagai contoh) karena hal tersebut dapat membuat anak merasa tidak dihargai.
??????? c. Orang tua harus kompak
Seperti yang telah disinggung diawal, ketika ayah-ibu menunjukkan perbedaan pola asuh, anak cenderung akan memihak atau memilih yang dianggap lebih menyenangkan. Tidak jarang pula anak merasa kecewa dan sedih manakala melihat orang tua yang bertengkar karena masing-masing berpegang pada keyakinannya. Dalam hal ini, orang tua diharapkan dapat berkompromi dan sepakat dalam menerapkan nilai-nilai yang diperbolehkan dan tidak.
??????? d. Perlunya contoh perilaku positif dari orang tua
Terkadang, orang tua meminta anak bersikap sesuai harapan mereka, misalnya jujur, tidak boros, atau melarang gunakan gadget. Sementara dalam keseharian, orang tua justru kerap berbohong, gemar menghamburkan uang, atau malah sibuk dengan handphone didepan anak. Anak membutuhkan sikap dan contoh yang positif dari orang tua, karena itu, tanamkan dan disaat yang sama tunjukkan nilai-nilai kebaikan tersebut dihadapan anak.
??????? e. Komunikasi dua arah yang efektif
Luangkanlah waktu untuk mengobrol dengan anak. Jadilah sosok pendengar yang baik, tidak menginterupsi cerita anak, dan berikan mereka kesempatan untuk berpendapat. Berikan pertanyaan atau pernyataan yang sekiranya dapat merangsang kemampuan anak berargumen dan menganalisa suatu masalah dari sudut pandang mereka.
??????? f. Disiplin
Sikap disiplin tidak dapat tumbuh begitu saja, melainkan harus dimulai dari hal kecil dan sederhana. Misalnya saja membereskan ranjang setiap bangun tidur, mempunyai jadwal harian untuk kegiatan ssehari-hari, dan sebagainya. Dengan sikap disiplin pula, anak akan belajar bertanggung jawab terhadap kebutuhan pribadinya.
??????? g. Konsisten
Konsistensi erat kaitannya dengan pemberlakuan aturan. Jangan sampai ada perbedaan karena hal itu akan membuat anak menganggap enteng setiap aturan yang kita terapkan. Misalnya saja, kita melarang anak makan permen, namun dilain waktu kita membolehkan anak membeli permen untuk ia makan. Jika sikap kita seolah berubah-ubah, maka anak akan cenderung menilai bahwa kita tidak tegas dan pada akhirnya menganggap hal tersebut bukan lagi sebuah aturan.